Kata Pengantar
Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamin,
banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala
puji untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik,
serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul ”Makalah Pernikahan“
Dalam penyusunannya,
penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Kedua orang tua dan Pak Parno selaku guru Pendidikan Agama Islam yang
telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan yang begitu besar. Dari
sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini bisa memberikan sedikit
kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.
Meskipun penulis berharap
isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang
kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
agar makalah ini dapat lebih baik lagi
Akhir kata penulis
berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.
Pati,
Oktober
2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………….………... 1
DAFTRA ISI ………………………………………..…….……………….….. 2 PENDAHULUAN ………………………………..…………………................ 3
PEMBAHASAN ………………………………………………………...…....... 4
HUKUM ISLAM TERHADAP PERNIKAHAN ……………..…..... 4
RUKUN DAN SYARATNYA PERNIKAHAN
………………….… 6
HIKMAH PERNIKAHAN …………………………………….……… 7
TUJUAN NIKAH ……………………………………………….……… 9
PELAKSANAAN PERNIKAHAN (AKAD NIKAH)
…….….……. 10
TALAK ………………………………………………………….….......... 12
PENUTUP ………………………………………………………….……. 16
REFERENSI …………………………………………………………………..... 16
LAMPIRAN ………………………………………..………………………….. 17
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah telah menciptakan
segala sesuatu berpasang-pasangan, ada lelaki ada perempuan salah satu ciri
makhluk hidup adalah berkembang biak yang bertujuan untuk generasi atau
melanjutkan keturunan. Oleh Allah manusia diberikan karunia berupa pernikahan
untuk memasuki jenjang hidup baru yang bertujuan untuk melanjutkan dan
melestarikan generasinya.
Untuk merealisasikan
terjadinya kesatuan dari dua sifat tersebut menjadi sebuah hubungan yang
benar-benar manusiawi, maka Islam telah datang dengan membawa ajaran pernikahan
yang sesuai dengan syariat-Nya. Islam menjadikan lembaga pernikahan itu pulan
akan lahir keturunan secara terhormat, maka adalah satu hal yang wajar jika
pernikahan dikatakan wajar pernikahan dikatakan sebagai suatu peristiwa dan
sangat diharapkan oleh mereka yang ingin menjaga kesucian fitrah.
B.
Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi nikah
2. Untuk mengetahui hukum-hukum nikah
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat nikah
4. Untuk mengetahui hikmah dan tujuan
pernikahan
5.Talak,macam-macam talak dan iddah
6.Hal-hal yang terlarang sehubungan dengan
pernikahan
PEMBAHASAN
A. HUKUM ISLAM TERHADAP PERNIKAHAN
1.
Arti Pernikahan
Pernikahan berasal dari
kata dasar nikah. Kata nikah memiliki persamaan dengan kata kawin. Menurut
bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Menurut istilah
syarak, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk
mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bertujuan
untuk menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar suka rela demi
terwujudnya keluarga bahagia yang diridhoi oleh Allh SWT.
Nikah adalah fitrah yang berarti
sifat asal dan pembawaan manusia sebagai makhluk Allah SWT. Setiap manusia yang
sudah dewasa dan sehat jasmani dan rohaninya pasti membutuhkan teman hidup yang
berlawanan jenis kelaminnya. Teman hidup yang dapat memenuhi kebutuhan
biologis, yang dapat mencintai dan dicintai, yang dapat mengasihi dan dikasihi,
serta yang dapat bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman, kedamaian, dan
kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Nikah termasuk perbuatan
yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. atau sunnah Rasul.Dalam hal ini
Rasulullah saw. bersabda: Dari Anas bin Malik ra.,bahwasanya Nabi saw. memuji
Allah SWT dan menyanjung-Nya, beliau bersabda: “Akan tetapi aku shalat, tidur,
berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barang siapa yang tidak suka perbuatanku,
maka bukanlah dia dari golonganku”. (HR. Al-Bukhari dan muslim)
2.
Hukum Pernikahan
a. Hukum Asal Nikah adalah Mubah
Menurut sebagian besar
ulama, hukum asal nikah adalah mubah, artinya boleh dikerjakan boleh
ditinggalkan. Dikerjakan tidak ada pahalanya dan ditingkalkan tidak berdosa.
Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan
pernikahan, hukum nikah dapat berubah menjadi sunnah, wajib, makruh atau haram.
b. Nikah yang Hukumnya Sunnah
Sebagian besar ulama berpendapat
bahwa pada prinsipnya nikah itu sunnah. Alasan yang mereka kemukakan bahwa
perintah nikah dalam berbagai Al-Qur’an dan hadits hanya merupakan anjuran
walaupun banyak kata-kata amar dalam ayat dan hadits tersebut. Akan tetapi,
bukanlah amar yang berarti wajib sebab tidak semua amar harus wajib, kadangkala
menunjukkan sunnah bahkan suatu ketika hanya mubah. Adapun nikah hukumnya
sunnah bagi orang yang sudah mampu memberi nafkah & berkehendak untuk
nikah.
c. Nikah yang Hukumnya Wajib
Nikah menjadi wajib
menurut pendapat sebagian ulama dengan alasan bahwa diberbagai ayat dan hadits
sebagaimana tersebut diatas disebutkan wajib. Terutama berdasarkan hadits
riwayat Ibnu Majah seperti dalam sabda Rasulullah saw., “Barang siapa yang
tidak mau melakukan sunnahku, maka tidaklah termasuk golonganku”.
Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada sebab dan faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jika kondisi seseorang sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan zina, dalam situasi dan kondisi seperti itu wajib nikah. Sebab zina adalah perbuatan keji dan buruk yang dilarang Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut.Dari Aisyah ra., Nabi saw. besabda: “Nikahilah olehmu wanita-wanita itu, sebab sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu”. (HR. Al-Hakim dan Abu Daud)
Selanjutnya nikah itu wajib sesuai dengan faktor dan situasi. Jika ada sebab dan faktor tertentu yang menyertai nikah menjadi wajib. Contoh: jika kondisi seseorang sudah mampu memberi nafkah dan takut jatuh pada perbuatan zina, dalam situasi dan kondisi seperti itu wajib nikah. Sebab zina adalah perbuatan keji dan buruk yang dilarang Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut.Dari Aisyah ra., Nabi saw. besabda: “Nikahilah olehmu wanita-wanita itu, sebab sesungguhnya mereka akan mendatangkan harta bagimu”. (HR. Al-Hakim dan Abu Daud)
d. Nikah yang Hukumnya Makruh
Hukum nikah menjadi makruh
apabila orang yang akan melakukan perkawinan telah mempunyai keinginan atau
hasrat yang kuat, tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberi nafkah
tanggungannya.
e. Nikah yang Hukumnya Haram
Nikah menjadi haram bagi seseorang
yang mempunyai niat untuk menyakiti perempuan yang dinikahinya. Dalam sebuah
hadits Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Barangsiapa yang tidak mampu menikah hendaklah dia puasa karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap prempuan)
“Barangsiapa yang tidak mampu menikah hendaklah dia puasa karena dengan puasa hawa nafsunya terhadap prempuan)
B. RUKUN DAN SYARATNYA PERNIKAHAN
Rukun
pernikahan ada lima:
1. Mempelai laki-laki syaratnya: bukan dari
mahram dari calon istri, idak terpaksa, atas kemauan sendiri, orangnya
tertentu, jelas orangny,calon suami, syaratnya antara lain beragama Islam,
benar-benar pria, tidak karena terpaksa, bukan mahram (perempuan calon istri),
tidak sedang ihram haji atau umrah, dan usia sekurang-kurangnya 19 tahun.
2. Mempelai perempuan syaratnya-syaratnya:
tidak ada halangan syar’I yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang
dalam iddah, merdeka, atas kemauan sendiri, jelas orangnya. Calon istri,
syaratnya antara lain beragama Islam, benar-benar perempuan, tidak karena
terpaksa, halal bagi calon suami, tidak bersuami, tidak sedang ihram haji atau
umrah, dan usia sekurang-kurangnya 16 tahun.
3. Wali (wali si perempuan)Wali mempelai
perempuan, syaratnya laki-laki, beragama islam, baligh (dewasa), berakal sehat,
merdeka (tidak sedang ditahan), adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah.
Wali inilah yang menikahkan mempelai perempuan atau mengizinkan pernikahannya.
Mengenai susunan dan urutan yang menjadi
wali adalah sebagai berikut:
1) Bapak kandung, bapak tiri tidak sah
menjadi wali.
2) Kakek, yaitu bapak dari bapak mempelai
perempuan.
3) Saudara laki-laki kandung.
4) Saudara laklaki sebapak.
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki
kandung.
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki
sebapak.
7) Paman (saudara laki-laki bapak).
8) Anak laki-laki paman.
9) Hakim. Wali hakim berlaku apabila wali
yang tersebut di atas semuanya tidak ada, sedang berhalangan, atau menyerahkan
kewaliannya kepada hakim. .
4. Dua orang saksi :Syarat-syaratnya: laki-laki, baligh, waras
akalnya, adil, dapat mendengar dan melihat, bebas (tidak dipaksa), memahami
bahasa yang digunakan ijab qabul.
5. Sighat (akad) yaitu perkataan dari pihak
wali perempuan, seperti kata wali “Saya nikahkan kamu dengan anak saya
bernama……………..” jawab mempelai laki-laki “Saya terima menikahi……………………”, boleh
juga didahului perkataan dari pihak mempelai seperti “Nikahkanlah saya dengan
anakmu” jawab wali “Saya nikahkan engkau dengan anak saya………………..” karena
maksudnya sama.
C. HIKMAH PERNIKAHAN
Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri. Ia merupukan pintu gerbang kehidupan berkeluarga yang mempunyai pengaruh terhadap keturunan dan kehidupan masyrakat. Keluarga yang kokoh dan baik menjadi syarat penting bagi kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan umat manusia pada umumnya.
Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci, baik, dan mulia. Pernikahan menjadi dinding kuat yang memelihara manusia dari kemungkinan jatuh ke lembah dosa yang disebabkan oleh nafsu birahi yang tak terkendalikan.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan, antara lain sebagai kesempurnaan ibadah, membina ketentraman hidup, menciptakan ketenangan batin, kelangsungan keturunan, terpelihara dari noda dan dosa, dan lain-lain. Di bawah ini dikemukakan beberapa hikmah pernikahan.
Pernikahan adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri. Ia merupukan pintu gerbang kehidupan berkeluarga yang mempunyai pengaruh terhadap keturunan dan kehidupan masyrakat. Keluarga yang kokoh dan baik menjadi syarat penting bagi kesejahteraan masyarakat dan kebahagiaan umat manusia pada umumnya.
Agama mengajarkan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci, baik, dan mulia. Pernikahan menjadi dinding kuat yang memelihara manusia dari kemungkinan jatuh ke lembah dosa yang disebabkan oleh nafsu birahi yang tak terkendalikan.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam pernikahan, antara lain sebagai kesempurnaan ibadah, membina ketentraman hidup, menciptakan ketenangan batin, kelangsungan keturunan, terpelihara dari noda dan dosa, dan lain-lain. Di bawah ini dikemukakan beberapa hikmah pernikahan.
1. Pernikahan Dapat Menciptakan Kasih
Sayang dan ketentraman
Manusia sebagai makhluk yang mempunyai kelengkapan jasmaniah dan
rohaniah sudah pasti memerlukan ketenangan jasmaniah dan rohaniah. Kenutuhan
jasmaniah perlu dipenuhi dan kepentingan rohaniah perlu mendapat perhatian. Ada
kebutuhan pria yang pemenuhnya bergantung kepada wanita. Demikian juga
sebaliknya. Pernikahan merupakan lembaga yang dapat menghindarkan kegelisahan.
Pernikahan merupakan lembaga yang ampuh untuk membina ketenangan, ketentraman,
dan kasih sayang keluarga.
Allah berfirman: Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah dia meniptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terhadap tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir (QS. Ar-Rum/30:21)
Allah berfirman: Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah dia meniptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terhadap tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir (QS. Ar-Rum/30:21)
2. Pernikahan Dapat Melahirkan keturunan yang Baik
Setiap orang menginginkan keturunan yang baik dan shaleh. Anak yang
shaleh adalah idaman semua orang tua. Selain sebagai penerus keturunan, anak
yang shaleh akan selalu mendoakan orang tuanya. Rasulullah saw. bersabda: Dari
Abu Hurairah ra., Rasulullah saw., bersabda: “Apabila telah mati manusia cucu
Adam, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya”. (HR. Muslim)
3. Dengan Pernikahan, Agama Dapat
Terpelihara
Menikahi perempuan yang
shaleh, bahtera kehidupan rumah tangga akan baik. Pelaksanaan ajaran agama
terutama dalam kehidupan berkeluarga, berjalan dengan teratur. Rasulullah saw.
memberikan penghargaan yang tinggi kepada istri yang shaleh. Mempunyai istri
yang shaleh, berarti Allah menolong suaminya melaksanakan setengah dari urusan
agamnya. Beliau bersabda: Dari Anas bin malik ra., Rasulullah saw., bersabda:
“Barang siapa dianugerahkan Allah Istri yang shalehah, maka sungguh Allah telah
menolong separuh agamanya, maka hendaklah ia memelihara separuh yang tersisa”.
(HR. At-Thabrani)
4. Pernikahan dapat Memelihara Ketinggian
martabat Seorang Wanita
Wanita adalah teman hidup yang paling baik,
karena itu tidak boleh dijadikan mainan. Wanita harus diperlakukan dengan
sebaik-baiknya Pernikahan merupakan cara untuk memperlakukan wanita secara baik
dan terhormat. Sesudah menikah, keduanya harus memperlakukan dan menggauli
pasangannya secara baik dan terhormat pula.
Firman Allah dalam Al-Qur’an: Dan bergaulah dengan mereka menurut cara yang patut. (QS. An-Nisa/4:19)
Karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki sebagai piarannya. (QS. An-Nisa/4:25)
Firman Allah dalam Al-Qur’an: Dan bergaulah dengan mereka menurut cara yang patut. (QS. An-Nisa/4:19)
Karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki sebagai piarannya. (QS. An-Nisa/4:25)
5. Pernikahan Dapat Menjauhkan Perzinahan
Setiap orang, baik pria maupun wanita, secara naluriah memiliki nafsu
seksual. Nafsu ini memerlukan penyaluran dengan baik. Saluran yang baik, sehat,
dan sah adalah melalui pernikahan. Jika nafsu birahi besar, tetapi tidak mau
nikah dan tetap mencari penyaluran yang tidak sehat, dan melanggar aturan
agama, maka akan terjerumus ke lembah perzinahan atau pelacuran yang dilarang
keras oleh agama. Firman Allah dalam Surah Al-isra ayat 32: Dan janganlah kamu
mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra/17:32) Jelasnya, hikmah pernikahan itu
adalah sebagai berikut:
<Menciptakan struktur sosial yang jelas
dan adil.
<Dengan nikah, akan terangkat status dan
derajat kaum wanita.
<Dengan nikah akan tercipta regenerasi
secara sah dan terhormat.
<Dengan nikah agama akan terpelihara.
<Dengan pernikahan terjadilah keturunan
yang mampu memakmuram bumi.
Pengertian
Nikah
Secara bahasa : kumpulan, bersetubuh, akad.
Secara syar’i : dihalalkannya seorang
lelaki dan untuk perempuan bersenangg-senang, melakukan hubungan seksual, dll.
Hukum
Nikah
Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah
menjadi 5 kategori yang berpulang kepada kondisi pelakunya :
Ø Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah
dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina.
Ø Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
Ø Mubah, bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan yang mengharamkan menikah.
Ø Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina.
Ø Mubah, bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan segera menikah dan/atau alasan yang mengharamkan menikah.
Ø Makruh, bila nafsu tak mendesak, tak
mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan isterinya.
Ø Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya.
Ø Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya.
D.
TUJUAN NIKAH
Tujuan Nikah ditinjau dari:
*TUJUAN FISIOLOGIS Yaitu bahwa sebuah keluarga
harus dapat menjadi :
1.Tempat semua anggota keluarga mendapatkan
sarana berteduh yang baik & nyaman.
2.Tempat semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian yang memadai.
3. Tempat suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.
2.Tempat semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian yang memadai.
3. Tempat suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.
*TUJUAN PSIKOLOGIS Yaitu bahwa sebuah keluarga
harus dapat menjadi :
1.Tempat semua anggota keluarga diterima
keberadaannya secara wajar & apa adanya.
2.Tempat semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman.
3.Tempat semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan jiwanya.
4. Basis pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga.
2.Tempat semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman.
3.Tempat semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan jiwanya.
4. Basis pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga.
*TUJUAN SOSIOLOGIS Yaitu bahwa sebuah
keluarga harus dapat menjadi :
1.Lingkungan pertama dan terbaik bagi
segenap anggota keluarga.
2.Unit sosial terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu anggota keluarga dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.
2.Unit sosial terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu anggota keluarga dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.
*TUJUAN DA’WAH Yaitu bahwa sebuah keluarga
harus dapat menjadi :
1.Menjadi obyek wajib da’wah pertama bagi
sang da’i.
2.Menjadi prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat muslim dan nonmuslim.
2.Menjadi prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat muslim dan nonmuslim.
3.Setiap anggota keluarga menjadi
partisipan aktif-kontributif dalam da’wah.
4.Memberi antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan Islam tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan keutamaan dan hikmah yang besar.
4.Memberi antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan Islam tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan keutamaan dan hikmah yang besar.
E. PELAKSANAAN PERNIKAHAN (AKAD NIKAH)
PENGERTIAN AKAD NIKAH
secara bahasa : akad = membuat simpul,
perjajian, kesepakatan; akad nikah = mengawinkan wanita.
secara syar’i : Ikrar seorang pria untuk menikahi/mengikat janji seorang wanita lewat perantara walinya, dengan tujuan
secara syar’i : Ikrar seorang pria untuk menikahi/mengikat janji seorang wanita lewat perantara walinya, dengan tujuan
a) hidup bersama membina rumah tangga sesuai
sunnah Rasulullah saw.
b) memperoleh ketenangan jiwa.
c) menyalurkan syahwat dengan cara yang
halal
d) melahirkan keturunan yang sah dan
shalih.
RUKUN DAN SYARAT SAH NIKAH
Akad nikah tidak akan sah kecuali jika
terpenuhi rukun-rukun yang enam perkara ini:
1. Ijab-Qabul
Islam menjadikan Ijab
(pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria) dan
Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai bukti kerelaan
kedua belah pihak. Al Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai miitsaaqan
ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian,
disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat ijab-qabul adalah :
a) Diucapkan dengan bahasa
yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b) Menyebut jelas pernikahan
& nama mempelai pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syarat mempelai pria adalah :
a)
Muslim & mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 221,
Al Mumtahanah : 9.
b) Bukan mahrom dari calon
isteri.
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang
melaksanakan ibadah haji.
3. Adanya mempelai wanita.
Syarat mempelai wanita adalah :
a)
Muslimah (atau beragama samawi, tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf;
lihat QS. Al Baqarah : 221, Al Maidah : 5.
b)
Tidak ada halangan syar’i (tidak bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan
mahrom dari calon suami).
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang
melaksanakan ibadah haji.
4. Adanya wali.
Syarat wali adalah :
a)Muslim laki-laki &
mukallaf (sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Tidak dipaksa.
d) Tidaksedang melaksanakan ibadah haji.
Tingkatan dan urutan wali adalah sebagai
berikut:
a) Ayah h)
Paman seayah
b) Kakek i)
Anak laki-laki dari paman sekandung
c) Saudara laki-laki sekandung j) Anak
laki-laki dari paman seayah
d) Saudara laki-laki seayah k)
Hakim
e) Anak laki-laki dari saudara laki – laki
sekandung
f) Anak laki-laki dari saudara laki – laki
seayah
g) Paman sekandung
5. Adanya saksi (2 orang pria).
Meskipun semua yang hadir
menyaksikan aqad nikah pada hakikatnya adalah saksi, tetapi Islam mengajarkan
tetap harus adanya 2 orang saksi pria yang jujur lagi adil agar pernikahan
tersebut menjadi sah. Syarat saksi adalah :
a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat
akal-baligh-merdeka).
b)Adil
c)Dapat mendengar dan melihat.
d)Tidak dipaksa.
e)Memahami bahasa yang dipergunakan untuk
ijab-qabul.
f) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
f) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
6. Mahar.
Beberapa ketentuan tentang mahar :
a) Mahar adalah pemberian wajib (yang tak
dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang suami kepada isteri, baik
sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat QS. An Nisaa’ : 4.
b) Mahar wajib diterimakan kepada isteri
dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik mertua.
c) Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d) Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e) Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang mahar yang mudah dan pernah pula
c) Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d) Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e) Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang mahar yang mudah dan pernah pula
E.TALAK
Pengertian Talak
Talak secara bahasa berarti melepaskan ikatan. Kata ini adalah derivat
dari kata الْإِطْلَاق “ithlaq”, yang
berarti melepas atau meninggalkan.
Secara syar’i, talak berarti melepaskan
ikatan perkawinan.
Dalil Dibolehkannya Talak
Allah Ta’ala berfirman,
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ
أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.
Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan
cara yang baik.” (QS. Al Baqarah: 229)
Hukum Talak
Ibnu Hajar Al Asqolani
mengatakan, “Talak boleh jadi ada yang haram, ada yang makruh, ada yang wajib,
ada yang sunnah dan ada yang boleh.”
Rincian hukum talak di atas adalah sebagai
berikut:
Pertama, talak yang haram yaitu
talak bid’i (bid’ah) dan memiliki beberapa bentuk.
Kedua, talak yang makruh yaitu
talak yang tanpa sebab apa-apa, padahal masih bisa jika pernikahan yang ada
diteruskan.
Ketiga, talak yang wajib yaitu talak yang
di antara bentuknya adalah adanya perpecahan (yang tidak mungkin lagi
untuk bersatu atau meneruskan pernikahan).
Keempat, talak yang sunnah yaitu talak yang
disebabkan karena si istri tidak memiliki sifat ‘afifah (menjaga
kehormatan diri) dan istri tidak lagi memperhatikan perkara-perkara yang wajib
dalam agama (seperti tidak memperhatikan shalat lima waktu), saat itu ia pun
sulit diperingatkan.
Kelima, talak yang hukumnya boleh yaitu
talak ketika butuh di saat istri berakhlaq dan bertingkah laku jelek dan
mendapat efek negatif jika terus dengannya tanpa bisa meraih tujuan dari
menikah.
1.Talak
Sunni dan Talak Bid’i
Talak dipandang dari aspek
sesuai dan tidak sesuai dengan ketentuan syara’ terbagi pada dua bagian;
a. Talak sunni dan
b. Talak bid’i. Ulama’ fikih beraneka ragam
dalam menstandari batasan-batasan talak sunni dan bid’i. Kalangan Hanafiyah
membagi talak kedalam tiga bagian, yaitu:
a. Talak ahsan
b. Talak hasan dan,
c. Talak bid’i.
Talak ahsan adalah talak
yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dengan talak satu, pada masa suci
dan tidak disetubuhi pada waktu sucinya serta ia membiarkan (tidak mentalak
lagi) pada istrinya sampai iddahnya berakhir dengan tiga kali haid. Talak hasan
adalah talak yang dilakukan suami pada istrinya dengan talak tiga, dalam waktu
tiga kali suci dan disetiap masa suci dilakukan talak satu. Sedangkan Talak
bid’i adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya dengan talak tiga, atau
talak dua dengan memakai satu kalimat, atau ia mentalak tiga dalam satu masa
suci.
Sedangkan kalangan Malikiyah dalam mengkatagorikan talak sunni atau bid’i dengan memberi syarat-syarat tertentu. Ada empat syarat talak dapat dikategorikan talak sunni
Sedangkan kalangan Malikiyah dalam mengkatagorikan talak sunni atau bid’i dengan memberi syarat-syarat tertentu. Ada empat syarat talak dapat dikategorikan talak sunni
a. Perempuan pada waktu ditalak suci dari
haid dan nifas,
b. Suami tidak menjima’nya pada
waktu,
c. Suami mentalak satu,
d. Suami tidak mentalak istrinya yang kedua
kali sampai masa ‘iddahnya berakhir.
Dan menurut mereka, talak bid’i adalah talak yang tidak memenuhi satu syarat atau seluruhnya. Misalnya : seorang suami mentalak istrinya lebih dari satu, atau ia mentalak istrinya pada masa haid atau nifas, atau pada masa suci tetapi dicampurinya dalam masa suci itu. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa suami yang mentalak bid’i pada isrinya ia dipaksa untuk rujuk kembai sampai masa iddah yang terakhir. Namun jika ia tidak mau untuk merujuknya, Hakim boleh mengancam untuk menahannya, dan manakala ia tetap enggan untuk merujuknya ia boleh dipukul, dan bila ia tetap bersikeras dalam keengganannya, seorang Hakim berhak memaksa untuk merujuknya.
Sementara kalangan Syafi’iyah membagi talak pada tiga bagian dengan istilah yang sedikit berbeda dengan kalangan Hanafiyah. Tiga bagian itu adalah :
Dan menurut mereka, talak bid’i adalah talak yang tidak memenuhi satu syarat atau seluruhnya. Misalnya : seorang suami mentalak istrinya lebih dari satu, atau ia mentalak istrinya pada masa haid atau nifas, atau pada masa suci tetapi dicampurinya dalam masa suci itu. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa suami yang mentalak bid’i pada isrinya ia dipaksa untuk rujuk kembai sampai masa iddah yang terakhir. Namun jika ia tidak mau untuk merujuknya, Hakim boleh mengancam untuk menahannya, dan manakala ia tetap enggan untuk merujuknya ia boleh dipukul, dan bila ia tetap bersikeras dalam keengganannya, seorang Hakim berhak memaksa untuk merujuknya.
Sementara kalangan Syafi’iyah membagi talak pada tiga bagian dengan istilah yang sedikit berbeda dengan kalangan Hanafiyah. Tiga bagian itu adalah :
a.Talak sunni,
b.Talak bid’i, dan
c.Talak bukan sunni dan bukan bid’i (talak
qhairu bid’I wa la- sunni).
Talak sunni adalah talak yang dijatuhkan pada istri dengan talak satu pada masa suci dan tidak dicampuri pada masa sucinya serta tidak dicampuri pula pada masa haid sebelumya, dan bila suami ingin mentalak istrinya dengan talak tiga ia menjatuhkan talak satu disetiap masa suci.
Talak sunni adalah talak yang dijatuhkan pada istri dengan talak satu pada masa suci dan tidak dicampuri pada masa sucinya serta tidak dicampuri pula pada masa haid sebelumya, dan bila suami ingin mentalak istrinya dengan talak tiga ia menjatuhkan talak satu disetiap masa suci.
Berkenaan dengan talak bid’i terbagi
menjadi dua macam:
a. Talak yang dijatuhkan pada masa haid
yang dicampuri pada masa haidnya, sebab syara’ memerintahkan untuk mentalak
istri pada masa suci, dan juga membuat mudharat pad istri dengan lamanya
menjalani masa iddah.
b. Talak yang dijatuhkan pada istri dalam masa
suci tetapi telah dicampuri pada masa suci itu.
Macam talak yang terakhir, yaitu talak
qhiru bid’i wa la-sunni hanya terjadi bagi istri yang masih kacil, perempuan
monopause, istri yang berkhulu’, istri yang hamil dan kehamilannya dipastikan
hasil hubungan dengan suaminya, dan istri yang belum pernah didukhul.
Sementara kalangan Hanabilah memberi pengertian talak sunni adalah talak yang suami menjatuhkan talak satu pada istrinya yang tidak disetubuhi pada masa sucinya itu kemudian ia tidak mentalaknya lagi sampai masa ‘iddahnya berakhir. Sedangkan talak bid’i adalah talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dalam masa haid atau nifas, atau masa suci tetapi ia telah mendukhulnya.
Sementara kalangan Hanabilah memberi pengertian talak sunni adalah talak yang suami menjatuhkan talak satu pada istrinya yang tidak disetubuhi pada masa sucinya itu kemudian ia tidak mentalaknya lagi sampai masa ‘iddahnya berakhir. Sedangkan talak bid’i adalah talak yang suami menjatuhkan talak pada istrinya dalam masa haid atau nifas, atau masa suci tetapi ia telah mendukhulnya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam -fikih
Indonesia- lebih cendrung mengikuti pendapat mayoritas Ulama’ selain Hanafiyah,
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 121 dan 122. Pasal 121: Talak sunni adalah
talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang
suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Pasal 122: Talak bid’i
adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam
keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu
suci tersebut.
2.
Talak Raj’i dan Talak Ba’in
Talak ditilik dari boleh dan tidak bolehnya
rujuk terbagi pada dua macam :
a. Talak raj’i, dan
b. Talak ba’in.
Talak raj’i adalah talak yang boleh bagi suami untuk merujuk pada istrinya dengan tanpa perlu akad baru selama masa ‘iddah, meskipun istri tidak mau untuk dirujuk. Talak raj’i ini terjadi dalam talak satu dan dua tetapi setelah masa ‘iddah istri sudah habis, suami tidak dapat merujuk kembali melainkan dengan akad baru.
Talak ba’in ada dua macam:
a. Ba’in shughraa (ba’in kecil)
b. Ba’in kubraa (ba’in besar)
Talak ba’in shughraa adalah talak yang
suami tidak dapat untuk rujuk kembali pada mantan istrinya, melainkan dengan
akad dan mahar baru. Talak ba’in shughraa terjadi bagi istri yang belum
didukhul, istri yang berkhuluk dengan menyerahkan ‘iwad (ganti rugi), talak
yang dijatuhkan oleh Hakim, dan talak sebab ila’. Talak ba’in kubraa adalah
talak yang suami tidak boleh untuk merujuk kembali kepada istri kecuali bila
istri telah kawin lagi dengan orang lain dan telah dicampurinya, kemudian ia
ditalak dan telah berakhir ‘iddahnya dari suami yang kedua. Talak macam ini
terjadi dalam talak tiga
Pengertian Iddah
Menurut bahasa, kata iddah berasal dari
kata ’adad (bilangan dan ihshaak (perhitungan), seorang wanita yang menghitung
dan menjumlah hari dan masa haidh atau masa suci.
Menurut istilah, kata iddah ialah
sebutan/nama bagi suatu masa di mana seorang wanita menanti/menangguhkan
perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan
baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau
berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.
berwatak seksual yang dilakukan kepada
seorang manusia dalam keadaan atau lingkungan yang koersif"
PENUTUP
A.Kesimpulan
1. Pernikahan yaitu ikatan dua orang hamba
berbeda jenis dengan suatu ikatan akad
2. Hukum-hukumnya nikah adalah jaiz,
sunnat, wajib, makruh, haram.
3. Diantaranya rukun-rukun nikah adalah
mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali, dua orang saksi, sighat.
4. Tujuan adanya pernikahanan ternyata
sangat banyak ditinjau dari berbagai sisi
B. Hikmah
1. Pernikahan yang sah menjadikan hubungan
antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim menjadi halal.
2. Pernikahan menjadi sah dengan rukun dan
syarat nikah.
C. Saran
Akhirnya, pemakalah mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu di dalam menyelesaikan
makalah kami ini. Disamping itu, kritik dan saran dari mahasiswa serta dosen
pengampu dan para pembaca sangat kami harapkan, demi kebaikan kita bersama
terutama bagi pemakalah.
REFERENSI
Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan
terjemahnya. Toha Putra
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2006. Fiqih Lima
Madzhab. Jakarta: Lentera
Rasjid, H. Sulaiman. 2008. Fiqih Islam.
Bandung: Sinar Baru Algesindo
Rifa’I, H. Moh. Fiqih Islam Lengkap.
Semarang: PT Karya Toha Putra
Drs. H. Muh. Rifa’i. Fiqih Islam Lengkap.
(Semarang: PT Karya Toha Putra)
H. Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam.
(Bandung: Sinar Baru Algesindo) 381-383
http://rumahabi.info,
http://id.shvoong.com,