Kata Pengantar
Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbilalamin, banyak
nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji
untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta
hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul ”Makalah Tentang Pasal 27”
Dalam penyusunannya, penulis memperoleh
banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada: Kedua orang tua dan Pak Sagino
selaku guru PPKn yang telah memberikan dukungan, kasih, dan kepercayaan
yang begitu besar. Dari sanalah semua kesuksesan ini berawal, semoga semua ini
bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun pada langkah yang lebih baik
lagi.
Meskipun penulis berharap isi dari
makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan, namun selalu ada yang kurang.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar
makalah ini dapat lebih baik lagi.
Pati, Febuari 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata pengantar ……………………………………………………………………….. 1
Daftar isi ………………………………………………………………………………… 2
Pendahuluan …………………………………………………………………………... 3
Permasalahan ……………………………………………………………………....… 4
Permasalahan ……………………………………………………………………....… 4
Pembahasan ……………………………………………………………………………. 5
Konstitusi Ekonomi dalam Kaitan dengan Pasal 27 UUD
1945 …………….…... 5
Pelayanan Kesehatan
Indonesia untuk Masyarakat Miskin dalam Kaitan dengan Pasal 27 UUD 1945
…………………………………………………………………….….. 9
Pendidikan di Indonesia dalam Kaitan dengan Pasal 27
UUD 1945 ……….... 10
Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja dalam Kaitan
dengan Pasal 27 ….. 12
Penutup
………………………………………………………………………………….. 13
Kesimpulan
& Saran
Daftar
pustaka …………………………………………………………………….….
14
Pendahuluan
Keadaan masyarakat
Indonesia pada saat ini dirasakan masih sangat memprihatinkan. Banyaknya
masyarakat yang belum mendapatkan kesejahteraan yang layak untuk
keberlangsungan hidupnya menjadi salah satu bahasan utama dalam makalah ini.
Minimnya lapangan pekerjaan,pembangunan yang tidak merata dan kepadatan
penduduk di masing-masing daerah menjadi salah satu contoh penyebab banyaknya
pengangguran di Indonesia.
Rendahnya
Sumber Daya Manusia (SDM), masih belum bisa mengembangkan potensinya terhadap
SDA yang ada, sehingga SDA yang kita punya belum dapat diolah sendiri. Hal itu
disebabkan rendahnya mutu pendidikan yang ada di Indonesia.Oleh karena itu,
kita akan membahas masalah kesejahteraan ini dengan mengaitkannya pada Pasal 27
UUD 1945, yang berbunyi:
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
Permasalahan
Permasalahan yang ada dalam pencanangan Konstitusi Indonesia, yaitu:
1. Masih rendahnya tingkat
kesejahteraan sebagian besar masyarakat.
2. Ketertinggalan Indonesia dibanding
negara-negara lain, misalnya di ASEAN, yang memulai pembangunan dalam waktu
yang hampir bersamaan.
3. Rendahnya daya saing
industri dan ketergantungan ekonomi yang semakin tinggi.
Pembangunan
pelayanan kesehatan Indonesia untuk masyarakat miskin masih belum optimal. Hal
ini dibuktikan dengan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia yang masih
rendah, khususnya masyarakat kelas bawah.
Sistem
pendidikan Indonesia belum mencapai tujuan pembangunan nasional yang sesungguhnya.
Penyelenggaraan sistem pendidikan Indonesia pada jaman ini cenderung
menomorduakan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan
secara menyeluruh.
Salah
satu bentuk pelayanan kesejahteraan rakyat di Indonesia yaitu dengan adanya Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Namun dalam pelakasanannya tidak selalu
berjalan dengan baik karena sulitnya sistematika untuk mendapatkan hak-hak yang
tersedia.
Pembahasan
Konstitusi
Ekonomi dalam Kaitan dengan Pasal 27 UUD 1945
Rasanya semua
sepakat bahwa Indonesia saat ini menghadapi banyak masalah mendasar di bidang
sosial ekonomi.
Pertama, masih
rendahnya tingkat kesejahteraan sebagian besar masyarakat. Bila digunakan
pendekatan jumlah keluarga yang masih layak mendapatkan Raskin (beras untuk
orang miskin) sebanyak 19,2 juta keluarga. maka dengan rata-rata anggota per
keluarga 4 orang, paling tidak saat ini jumlah orang miskin dan mendekati
miskin minimal 40 juta orang. Lebih banyak dibanding data BPS yang sebanyak
32,5 juta orang (2009) dengan batasan pengeluaran Rp 200.262 per orang per
bulan, atau Rp 6.675 (USD 0,725) per orang per hari. Dengan kata lain, bila
digunakan indikator internasional USD 2 per orang per hari, maka jumlah orang
Indonesia yang belum sejahtera akan jauh lebih besar.
Kedua, masalah ketertinggalan Indonesia dibanding negara-negara lain, misal di ASEAN, yang memulai pembangunan dalam waktu yang hampir bersamaan. Dari indikator Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indonesia yang masih pada level 107 di tahun 2008. Jauh tertinggal dibanding Malaysia (63), Thailand (78) bahkan di bawah Filipina (105). Rendahnya IPM berarti pelayanan dasar (seperti pendidikan, kesehatan, air bersih) maupun daya beli masyarakat masih realtif rendah dibanding negara-negara ASEAN.
Demikian
juga bila diukur dari PDB per kapita. Indonesia yang pada tahun 1960an sekitar
USD 100, hampir sama dengan negara-negara tetangga, namun saat ini sudah jauh
berbeda. Pada tahun 2008 Indonesia baru sekitar USD 2.246, Thailand USD 4.043
dan Malaysia USD 8.209 (World Bank). Belum lagi bila kita memasukkan data bahwa
sebenarnya terjadi kesenjangan pendapatan, yang berarti sebagian besar kue
ekonomi dinikmati secara tidak merata.
Ketiga, masalah rendahnya daya saing industri dan ketergantungan ekonomi yang semakin tinggi.Untuk pangan, Indonesia tidak hanya mengalami ketergantungan tetapi mungkin dapat dikatakan telah masuk pada food trap (perangkap pangan). Tujuh komoditas pangan utama nonberas sangat bergantung pada impor. Empat dari tujuh komoditas pangan utama nonberas, yakni, gandum, kedelai, daging ayam ras, dan telur ayam ras, sudah masuk kategori kritis. Meningkatnya ketergantungan pangan dapat dilihat dari naiknya volume impor pangan dalam bentuk komoditas, benih maupun bibit. Data BPS dan Kadin menunjukkan impor kedelai pernah mencapai 61% dari kebutuhan dalam negeri, gula 31%, susu 70% dan daging 50%.
Undang-undang
Dasar 1945 memiliki Pasal 33 yang akan mengatur ekonomi. Namun, menurut hemat
saya pembahasan pasal 33 tentang pengeloaan ekonomi seharusnya tidak dilepaskan
dari pembahasan tentang tanggung jawab sosial pemerintah terhadap warga negara
seperti menyediakan pendidikan, kesehatan, pangan, pekerjaan dan menjamin orang
miskin. Dengan demikian, dalam UUD 1945 ada 6 pasal yaitu Pasal 23, 27, 28, 31,
33 dan 34, dimana keenam pasal tersebut harus dipahami secara menyatu dan tidak
dipisah-pisahkan.Pasal 23 ayat 1, menegaskan bahwa pengelolaan anggaran dan
keuangan pemerintah harus diprioritaskan untuk kesejahteraan rakyat. Pasal
27 mengatur hak penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi seluruh
rakyat. Di pasal 28 c, menegaskan bahwa rakyat memiliki hak untuk dipenuhi
hak-hak dasarnya. Pasal 31 mengatur hak rakyat atas pendidikan dan kewajiban
negara untuk memberikan pendidikan setinggi-tingginya. Dalam pasal 33, ayat 1
tentang pengaturan ekonomi yang berbasis kebersamaan, ayat 2 menegaskan bahwa
rakyat memiliki hak untuk ikut berproduksi dan ikut menikmati hasilnya agar
mengalami peningkatan kesejahteraan. Sedangkan pasal 33 ayat 3 dengan jelas
diuraikan bahwa negara harus menguasai berbagai sumber daya alam yang ada dan
rakyat memiliki hak penuh atas kekayaan tersebut. Pada pasal 34, konstitusi
menegaskan hak fakir miskin dan anak terlantar untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan
dasar oleh negara. Bila keenam pasal tersebut dimaknai secara bersama, maka
keberadaan pasal 33 yang mengatur negara harus menguasai sumber daya alam dan
tidak diberikan penguasaannya kepada swasta dan asing karena tugas negara
sesuai amanah konstitusi sangat banyak.
Namun,
karena sumber daya alam tidak dimaknai sebagai kekayaan atau modal pemerintah,
maka terjadi pergeseran paradigma yang menempatkan batu bara, minyak mentah,
gas dan tambang lainnya hanya sekadar komoditas yang dapat dikuasai dan
diperdagangkan secara bebas oleh swasta dan asing. Sebagai komoditas non
strategis (sebagaimana baju, sepatu dll), barang-barang tambang akan dengan
mudah dieksploitasi dan diekspor bila penjualan ke luar negeri dinilai memberi
keuntungan. Seolah manfaat bagi rakyat cukup lewat peningkatan cadangan devisa,
penciptaan lapangan meskipun bukan pekerja ahli atau dari pembayaran pajak dan
royalti. Padahal faktanya, dengan pengelolaan yang terjadi saat ini, bagian
pemerintah jauh lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh
swasta.Dengan kembali pada ekonomi konstitusi, berbagai kekayaan alam tambang
akan dikembalikan sebagai modal pembangunan Indonesia dalam mewujudkan kemajuan
dan kemandirian. Oleh karenanya kekayaan alam tersebut harus dikembalikan
penguasaannya pada negara untuk dimanfaatkan sebesar-besar bagi kemakmuran
rakyat. Pertanyaanya, bersungguh-sungguhkah kita akan mengembalikan pengelolaan
kekayaan alam sesuai dengan amanah pasal 33 ayat 3? Karena salah satu
konsekwensinya kita harus berjuang untuk merevisi berbagai undang-undang
pengelolaan SDA yang bertentangan dengan konstitusi. Undang-undang Migas No. 22
Tahun 2001 misalnya, paling tidak ada empat pasal yang telah dibatalkan oleh
Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan konstitusi. Namun, keputusan MK
tersebut hingga hari ini belum ditindak lanjuti karena akan mengganggu
kepentingan sekelompok elit asing dan dalam negeri yang selama ini mendapatkan
manfaat besar dari liberalisasi SDA. Kita juga harus bersedia mengevaluasi undang-undang
No. 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara (minerba) karena tidak mengatur
pentingnya DMO (domestic market obligation) bagi kepentingan
nasional. Juga harus bersungguh-sungguh melakukan koreksi terhadap
Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang membebaskan
kepemilikan asing di sektor tambang hingga 95% serta melakukan koreksi terhadap
berbagai undang-undang yang telah disusun dengan paradigma liberal, seperti UU
Kelistrikan, UU Air, dll. Mengembalikan ekonomi pada konstitusi juga berarti
bersedia mengoreksi berbagai kontrak-kontrak tambang sehingga memberikan
manfaat lebih besar bagi rakyat. Dengan terobosan-terobosan ini, akan ada
potensi penerimaan negara baru yang lebih besar sehingga tidak lagi hanya
bersumber pada pajak, privatisasi dan utang sebagaimana pakem Washington
Consensus.
Pengelolaan
kekayaan alam non tambang yang liberal dan tidak menempatkan kepentingan
nasional sebagai prioritas juga harus dikoreksi. Pilihan kebijakan ini telah
menjadikan Indonesia sebagai pemasok berbagai sumber daya alam mentah sebagai
bahan baku industri dunia. Padahal pilihan ini akan merugikan kepentingan
nasional. Pada saat memilih untuk mengekspor bahan baku dan bahan mentah maka
pada saat itu pula Indonesia sedang mengekspor kesempatan kerja, memberikan
nilai tambah dan menyerahkan peluang untuk meningkatkan pendapatan masyarakat
kepada negara lain. Indonesia adalah penghasil rotan terbesar dunia namun saat
ini pemerintah membebaskan ekspor rotan mentah. Memang kebijakan ini akan
mendorong ekspor sehingga menguntungkan petani rotan. Secara nasional negara
juga akan diuntungkan dengan sumbangan pertumbuhan ekspor yang tinggi sehingga
akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sepintas kebijakan ini seolah baik.
Padahal, akibat dari liberalisasi rotan mentah telah mengakibatkan produsen
barang dari rotan yang umumnya di wilayah Jawa, mengalami ketidakpastian harga
dan pasokan bahan baku. Tentu petani rotan akan memilih untuk mengekspor karena
permintaan dan pembayaran lebih pasti. Namun, sebagai konsekwensinya banyak
industri mebel rotan kecil dan menengah nasional kesulitan bahan baku. Bahkan
saat ini meubel rotan Indonesia telah kalah bersaing dengan produk dari
negara-negara pengimpor rotan dari Indonesia.
Bila
meyakini menciptakan lapangan kerja dan memberikan penghidupan yang layak pada
pasal 27 dan 28 adalah amanah yang harus dijalankan, maka kebijakan yang
dipilih dalam pengelolaan rotan akan berbeda. Melimpahnya produksi rotan
di Kalimantan justru menjadi kesempatan untuk memantapkan posisi Indonesia
sebagai produsen mebel rotan utama dunia yang pernah dicapai sebelum krisis.
Pengembangan sentra-sentra industri produk rotan di daerah penghasil rotan
dengan berbagai dukungan teknologi dari pemerintah akan menciptakan lapangan
kerja yang besar, kesejahteraan petani dan perajin rotan akan meningkat karena
nilai tambah dari pengolahan rotan akan terjadi dan dinikmati oleh rakyat di
Indonesia. Kebijakan yang sama semestinya juga dapat dilakukan untuk kekayaan
timah, coklat, dan lain-lain yang melimpah.
Pelayanan Kesehatan Indonesia untuk
Masyarakat Miskin dalam Kaitan dengan Pasal 27 UUD 1945
Pembangunan
kesehatan adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional, dalam pembangunan
kesehatan tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang optimal. Kenyataan yang terjadi sampai saat ini derajat
kesehatan masyarakat masih rendah khususnya masyarakat miskin,
hal ini dapat digambarkan bahwa angka kematian ibu dan angka kematian bayi bagi
masyarakat miskin tiga kali lebih tinggi dari masyarakat tidak miskin. Salah
satu penyebabnya adalah karena mahalnya biaya kesehatan sehingga akses ke
pelayanan kesehatan pada umumnya masih rendah. Derajat kesehatan
masyarakat miskin berdasarkan indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka
Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, masih cukup tinggi.
Banyak
faktor yang menyebabkan ketimpangan didalam pelayanan kesehatan terutama
yang terkait dengan biaya pelayanan kesehatan, ketimpangan tersebut diantaranya
diakibatkan perubahan pola penyakit, perkembangan teknologi kesehatan dan
kedokteran, pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran swadana (out of
pocket). Biaya kesehatan yang mahal dengan pola pembiayaan kesehatan berbasis
pembayaran out of pocket semakin mempersulit masyarakat untuk
melakukan akses ke pelayanan kesehatan.
Untuk
memenuhi dan mewujudkan hak bagi setiap warga negara dalam mendapatkan
pelayanan kesehatan yang layak dan kewajiban pemerintah penyediaan fasilitas
kesehatan sebagai amanat UUD 1945 serta kesehatan adalah merupakan
kesehatan merupakan Public Good maka dibutuhkan intervensi dari
Pemerintah.
Pendidikan di Indonesia dalam Kaitan
dengan Pasal 27 UUD 1945
Pendidikan adalah
suatu usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik agar berperan aktif dan
positif dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang, dan pendidikan nasional
Indonesia adalah pendidikan yang berakar pada pencapaian tujuan pembangunan
nasional Indonesia.
Jenis
pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokan sesuai dengan sifat dan
kekhususan tujuannya dan program yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri
atas pendidikan umum, Pendidikan keturunan dan pendidikan lainnya. Serta upaya
pembaharuannya meliputi landasan yuridis, Kurikulum dan perangkat penunjangnya,
struktur pendidikan dan tenaga kependidikan.
Berangkat dari definisi di atas maka dapat dipahami bahwa secara formal sistem pendidikan indonesia diarahkan pada tercapainya cita-cita pendidikan yang ideal dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Namun demikian, sesungguhnya sistem pendidikan indonesia saat ini tengah berjalan di atas rel kehidupan ‘sekulerisme’ yaitu suatu pandangan hidup yang memisahkan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh, termasuk dalam penyelenggaran sistem pendidikan. Permasalahan ini berlawanan dengan isi pasal 27 ayat 2 UUD 1945 yang memaknai penghidupan yang layak bagi seluruh masyarakat Indonesia, salah satunya untuk keberlangsungan pendidikan dan pekerjaan warga negara.Meskipun, pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan realitas (sekulerisme pendidikan) yang ada sebagaimana terungkap dalam UU No.20/2003 tentang Sisdiknas pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional berjalan dengan penuh dinamika. Hal ini setidaknya dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu political will dan dinamika sosial. Political will sebagai suatu produk dari eksekutif dan legislatif merupakan berbagai regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya tertuang dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD 1945,maupun dalam regulasi derivatnya seperti UU No.2/1989 tentang Sisdiknas yang diamandemen menjadi UU No.20/2003, UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta berbagai rancangan UU dan PP yang kini tengah di persiapkan oleh pemerintah (RUU BHP, RPP Guru, RPP Dosen, RPP Wajib belajar, RPP Pendidikan Dasar dan Menengah, dsb
Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia, Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk persoalan stabilitas dan keamanan, sebab pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman. Menanggapi hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei oleh lembaga yang berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (Kompas,5/9/2001).
Kondisi
ini menunjukan adanya hubungan yang berarti antara penyelenggaraan pendidikan
dengan kualitas pembangunan sumber daya manusia indonesia yang dihasilkan
selama ini, meskipun masih ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhinya.
Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
dalam Kaitan dengan Pasal 27
Berdasarkan
ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ketentuan ini dijabarkan
dalam Pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003, tentang tujuan pembangunan ketenagakerjaan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 99 UU No. 13 Tahun 2003, yaitu setiap pekerja/buruh
dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.
Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud, dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Saat ini aturan yang dimaksud adalah UU
No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK).
Namun
dalam kenyataannya, jaminan sosial tersebut tidak selalu berjalan dengan
baik dalam melayani kebutuhan para pekerja. Setiap pekerja yang membutuhkan
jaminan tersebut, misalnya dalam keadaan sakit atau mengalami kerugian karena
faktor intern ( faktor yang diakibatkan dari perusahaan yang bersangkutan )
tidak bisa langsung mendapatkan hak nya di Jamsostek dan harus memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan. Setelah syarat-syarat tersebut dipenuhi, hak
tersebut tidak dapat langsung diambil dan harus melalui persetujuan dari pihak
yang bersangkutan.
Penutup
Kesimpulan
Dari pembahasan
mengenai kesejahteraan rakyat diatas maka dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan
rakyat di Indonesia belum terlaksana dengan baik. Kesejahteraan rakyat yang
mencakup bidang ekonomi, pelayanan kesehatan untuk masyarakat (terutama
masyarakat miskin), pelayanan sosial yang ada di dalam atau luar lingkup kerja,
dan pendidikan.
Berdasarkan data yang
diperoleh, hal tersebut belum relevan dengan pasal 27 ayat 1 dan ayat 2 tentang
kedudukan yang sama dalam hukum ( penghidupan yang layak ).
Saran
Seharusnya
pemerintah memikirkan cara lain untuk membantu menyejahterakan rakyatnya karena
menurut penulis cara pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat masih belum
tepat. Pemerintah masih bisa mencari cara lain selain memberikan bantuan
langsung kepada masyarakat, karena cara seperti itu belum efektif. Rakyat bukan
hanya butuh uang, tetapi juga butuh lapangan pekerjaan. Mungkin saja pemerintah
bisa mencari atau mengupayakan cara lain untuk menyejahterakan rakyatnya demi
kelangsungan bangsa di masa depan.
No comments:
Post a Comment